Selasa, 09 November 2010

Banjir Yang Menghimpit Kehidupan Kita

Kenyamanan apa lagi yang belum dieksploitir oleh organisma paling dominan di muka bumi ini kalau bukan organisma manusia. Sebuah pertanyaan yang mencoba menguak ketamakan manusia dalam mendzolimi sumber daya hayati dan lingkungan fisik di muka bumi ini. Bahkan ambisi eksploitasi ini telah berkembang dalam bentuk penjelejahan ruang angkasa demi kesejahteraan manusia itu sendiri. Namun benarkah manusia telah mampu memberdayakan sumber daya alam yang berlimpah, sehingga tidak lagi mengancam kehidupanya.

Sebuah fenomena yang pelik dan dapat mengancam eksistensi peradaban manusia telah menyeruak sejak awal abad ke-20 ini, sejak alam tidak lagi tersenyum ramah kepada kita lantaran dieksploitir dengan sepihak dan membabi buta demi sebuah ego. Betapa tidak dengan mengkonsumsi energi guna mobilisasi, fabrikasi dan kenyamanan hidup lainnya, manusia harus melepas gugus gas racun ke atmosfer. Gas gas monster tersebut adalah gas Karbondioksida (CO2) dalam jumlah berlebihan dan menumpuk di atmosfer, padahal salah satu sifat gas ini adalah menyerap kalor hasil radiasi cahaya matahari.

Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi Karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia tersebut dalam melepaskan Karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul Karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi Karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm.

Disamping gas Karbondioksida juga terdapat gas kimia organik radikal yang terakumulasi di atmosfer, gas tersebut adalah Metana. Gas ini mampu mengabsorbsi kalor sebanyak 20 kali dari Karbondiolsida. Gas lain yang dewasa ini ikut pula mencemari armosfer adalah Nitrogen Oksida, sebuah gas yang berperan dalam insulator kalor 300 kali kemampuan Karbondioksida. Namun kita juga harus mewaspadai gugus gas kimia yang “kecil tapi cabe rawit”, artinya meski di atmosfer terakumulasi dalam jumlah yang kecil namun memiliki daya penghancur lingkungan yang besar, gas tersebut adalah Alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) dan Klorofluorokarbon (CFC).

Kemarahan alam ini baru terdeksi pada seratus tahun terakhir ini, ketika manusia merasakan temperature bumi merambat naik dari decade ke decade, yang disebut dengan fenomena Pemanasan Global yang ternyata berdampak sistemik terhadap hubungan timbal balik antara sumber daya alami dan hayati. Termasuk timbal balik manusia dengan alam yang menyeretnya dalam hubungan yang mampu mengancam eksistensi peradaban manusia.

Ketidak serasian hubungan antara dua komponen ini bisa kita cermati engan refleksi berbagai distorsi (kerusakan) cuaca, terjadinya gelombang panas di benua Eropa dan Amerika, bergeraknya gunung es sebesar 2 kali Pulau Hongkong menuju daratan Benua Australia, kerusakan iklim (Global Clymate) dan banjir, sebagai suatu bencana alam yang umum terjadi tetapi mampu membuat kerusakan sebuah lingkungan fisik dan sosial umat manusia. Khusus untuk bencana alam yang satu ini, manusia belum mampu mengaplikasikan temuan berbagai macam iptek untuk menangkal atau menghindari momok ini.

Salah satu contoh adalah terjadinya banjir bandang byang menerjang Pakistan barat laut tepatnya di Nowshera, pada hari Selasa (3/8) yang telah menyebabkan lebih dari tiga juta orang merana. Korban yang te¬was mencapai 1.400 orang, Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya stok pangan akibat terendamnya daerah penghasil pangan di Provinsi Punjab,

Namun bukah hanya di wilayah Pakistan saja sejarah mengukir terjangan banjir bandang yang menyengsarakan umat manusia. Seperti di belahan bumi lainnya, di tanah airpun masyarakat kita telah akrab dengan banjir. Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen.

Salah satunya adalah “banjir Jakarta 2007”, adalah bencana banjir yang menghantam Jakarta dan sekitarnya sejak 1 Februari 2007 malam hari. Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.

Menuut Agus Maryonoo, seorang pakar yang mendapatkan penghargaan sebagai penulis artikel terbaik nasional ke-PU-an 2009 dalam rangka HUT ke-64 Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dalam Artikelnya yang berjudul ‘Banjir Beruntun dan Konservasi DAS Hulu” menjelaskan bahwa banjir yang akhir-akhir ini melanda berbagai daerah pada umumnya masih dikendalikan dengan bermacam upaya konstruksi di bagian hilir lokasi banjir. Upaya tersebut memakan biaya sangat besar dan tidak menunjukkan hasil signifikan. Hal itu terjadi karena akar permasalahan yang sesungguhnya, yakni kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu, tidak tersentuh. Oleh karena itu banjir yang beruntun dan meluap di mana-mana dapat menyadarkan pemerintah dan banyak kalangan, untuk menggarap lebih intensif DAS bagian hulu secara serius dan komprehensif.

Partisipasi masyarakatpun perlu digali dalam upaya pencegahan bahaya banjir di masa yang akan dating agar mampu mewarisi sumber alam hayati yang utuh demi anak cucu kita.Peran serta tersebut salah satunya adalah kesadaran dalam membatasi takaran gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer esuai dengan Protokol Konvenssi PBB di Kopenhagen tentang Iklim yang mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi pelepasan gas efek rumah kaca, demikian juga dengan negara negara berkembang yang harus mengintensifkan diri dalam mengkampanyekan gas pembawa maut ini.